Situs Trowulan adalah kawasan
kepurbakalaan
dari periode klasik sejarah Indonesia
yang berada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur. Berbagai temuan-temuan yang diangkat
di sini menunjukkan ciri-ciri pemukiman yang cukup maju. Berdasarkan kronik, prasasti, simbol, dan
catatan yang ditemukan di sekitar kawasan tersebut, diduga kuat situs ini
berhubungan dengan Kerajaan Majapahit.
Kawasan
berdirinya struktur-struktur besar (candi, makam, dan kolam) mencakup wilayah
sekitar 5 km × 5 km, dipotong oleh jalan negara yang menghubungkan kota Jombang
dan Surabaya. Namun demikian, temuan-temuan yang
terpendam diketahui berada di luar kawasan tersebut dan mencakup kawasan lebih
luas, dengan ukuran 11 km × 9 km[1], sehingga mencakup pula wilayah timur Kabupaten Jombang.
Situs Trowulan
telah didaftarkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia
UNESCO sejak tahun 2009.
Asal
nama
Nama "Trowulan" diambil
dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas struktur besar yang ada. Ada
dua pendapat mengenai asal nama ini[2]. Pendapat yang pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont,
adalah dari asal "Setra Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul
pupuh XX, ada tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja
Majapahit, meminta sebagai lokasi makamnya.
Kitab perjalanan dari Tiongkok, Yingyai
Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho, Ma Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i
(Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim[3]. Apakah yang dimaksud adalah pemukiman
Trowulan tidak ada yang menyebutkan, namun berbagai temuan memberikan dugaan
kuat keterkaitan ini.
Deskripsi
berdasarkan sumber kontemporer
Bajang Ratu pada tahun 1929, sebelum
dipugar
Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton
Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya
terdapat pos tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton
(kompleks istana) terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan
pintu besar terbuat dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan
panjang tempat rapat tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah
persimpangan jalan yang disucikan.
Masuk ke dalam kompleks melalui
gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi bangunan suci keagamaan. Pada
sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang dikelilingi kanal dan kolam
tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini terdapat jajaran rumah yang
dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah ini adalah tempat tinggal
para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke
lapangan ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu
bagi para tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks istana tempat tinggal raja
terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang
dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir
sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat. Di luar istana
terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa,
bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat
dan ningrat (bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang
luas, terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah
satunya kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca
mengenai ibu kota Majapahit berakhir.
Sebuah catatan dari China abad ke-15
menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik.
Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10
meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki
tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi
tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu
(sirap),
sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk
atau jerami.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata
cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai: "Sebuah tempat
disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah". Relief candi dari zaman Majapahit
tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan
permukiman yang dikelilingi tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan
sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan
dipimpin oleh seorang bangsawan. Pola permukiman
seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para
penjelajah Eropa. Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak
unit permukiman seperti ini.
Penemuan
Reruntuhan kota kuno di Trowulan
ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas
Stamford Raffles yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811
sampai 1816, disebutkan bahwa: "Terdapat reruntuhan candi.... tersebar
bermil-mil jauhnya di kawasan ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan
jati yang lebat sehingga survei dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin
dilaksanakan. Meskipun demikian, Raffles, yang sangat berminat pada sejarah dan
kebudayaan Jawa, terpesona dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan
sebagai 'Kebanggaan Pulau Jawa'.
Situs
Arkeologi
Peta situs Trowulan. Titik merah
adalah situs arkeologi, warna biru muda adalah bekas kanal kuna.
Penggalian di sekitar Trowulan
menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan
endapan
vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar
di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak,
sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini
terbuat dari bahan bata merah.http://historyoftrowulan.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar